Martapura – PeloporNew Kalimantan -Dalam lembaran sejarah Banjar, nama Datu Syekah Al ‘Alimatul Fadhilah Siti Fatimah Bugis—ibu dari Ratu Abdurrahman Ratu Halimah Bugis Albanjari—masih jarang disebut. Padahal, beliau adalah salah satu sosok perempuan luar biasa dalam dunia keilmuan Islam Nusantara.
Lahir dari pasangan Syekh Abdul Wahab Bugis (putra Raja Bugis) dan Syarifah binti Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari), Datu Fatimah tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan tradisi keilmuan dan spiritualitas. Ia dibesarkan di Martapura dan mendapat pendidikan langsung dari kakeknya, Datu Kalampayan, ulama besar Banjar.
Bersama saudara tirinya, Muhammad As’ad, yang kelak menjadi mufti pertama Kesultanan Banjar, Datu Fatimah menempuh jalur keilmuan yang mendalam. Ia dikenal sebagai pengajar agama khusus bagi kalangan perempuan di wilayah Dalam Pagar, Martapura, sebuah peran yang sangat langka pada masanya.
Menariknya, Datu Fatimah adalah pengarang Kitab Parukunan Basar, kitab fikih berbahasa Arab-Melayu yang dipelajari luas hingga ke Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Myanmar. Meski dalam sejarah kitab itu lebih dikenal dengan nama Parukunan Jamaluddin—merujuk pada pamannya, Mufti Jamaluddin—banyak yang meyakini bahwa Datu Fatimah-lah penulis aslinya.
Menurut pendapat Prof. Martin van Bruinessen, karya-karya ilmiah perempuan pada masa itu kerap diabaikan atau bahkan “diboikot”, karena menulis kitab dianggap hanya pantas dilakukan laki-laki. Hal inilah yang mungkin menjadi sebab mengapa nama Datu Fatimah tak tercantum secara resmi sebagai pengarang.
Meski demikian, peran dan semangat beliau dalam mendidik perempuan tak bisa dinafikan. Ia bukan hanya guru, tetapi juga pionir yang membuka jalan bagi perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan agama. Ketika saudaranya Muhammad As’ad mengajar kaum laki-laki, Datu Fatimah—dengan restu kakeknya—menyemai ilmu dan semangat religius pada kaum perempuan.
Datu Fatimah wafat pada tahun 1828 dalam usia 53 tahun, dan dimakamkan di kompleks pemakaman Karang Tengah, Martapura, Kalimantan Selatan. Ia menikah dengan Pangeran Haji Muhammad Sa’id Bugis, kerabat dekat dari pihak ayahnya. Dari pernikahan ini, lahirlah Abdul Ghani dan Nyai Ratu Halimah, yang merupakan cicit dari Datu Kalampayan.
Melalui garis keturunannya, Datu Fatimah adalah nenek dari Pangeran Wirakusuma Pangeran Ratu Abdurrahman, cucu Sultan Adam, buyut dari Sultan Sulaiman, dan menantu Pangeran Antasari, pahlawan nasional sekaligus cucu Raja Kusan II.
Menjaga Marwah Leluhur
Kisah Datu Fatimah adalah pengingat akan pentingnya menjaga marwah dan martabat leluhur kita. Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga cermin bagi masa kini—sebagai inspirasi dan warisan yang patut dihargai.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengangkat harkat dan martabat para leluhur kita?”
Mari kita terus menggali, merawat, dan membagikan kisah-kisah perempuan hebat Nusantara seperti Datu Fatimah Bugis—sosok yang diam-diam menyalakan cahaya ilmu di tengah gelapnya keterbatasan peran perempuan pada zamannya”.(Sumber Cerita Turunan Raja Banjar/Hikayat Banjar Resensi)
Al-Fatihah…
رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وأمتنا