Syamsul Anam
Minggu, 14 Desember 2025
SEMARANG – PeloporNews Kalimantan– Kebebasan pers di Indonesia kembali berada di ujung tanduk. Seorang wartawan media online di Kota Semarang, Jawa Tengah, diduga menjadi korban penyekapan dan kekerasan fisik saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Peristiwa ini sontak memicu kegemparan di kalangan insan pers dan memunculkan kekhawatiran serius terhadap keselamatan jurnalis di lapangan.
Insiden tersebut tidak bisa dipandang sebagai perkara kriminal biasa. Jika dugaan ini terbukti, maka peristiwa ini merupakan ancaman nyata terhadap kemerdekaan pers yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang. Kekerasan terhadap jurnalis dinilai sebagai bentuk teror dan pembungkaman informasi, yang berpotensi melukai sendi-sendi demokrasi.
Ketua Persatuan Wartawan Online Independen Nasional (PWOIN) Kota Semarang, Vio Sari, menyampaikan kecaman keras atas dugaan penyekapan dan penganiayaan terhadap wartawan berinisial A, yang disebut terjadi ketika korban tengah menjalankan tugas jurnalistik.
“Ini bukan sekadar kekerasan, ini tindakan brutal. Jika jurnalis disekap dan dianiaya karena pekerjaannya, maka itu adalah upaya nyata membungkam pers. Ini serangan langsung terhadap demokrasi dan hak publik atas informasi,” tegas Vio Sari, Sabtu (13/12/2025).

Vio menegaskan, peristiwa ini diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, antara lain:
Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pasal 4 ayat (3): Pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 18 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Selain pelanggaran terhadap UU Pers, dugaan penyekapan dan penganiayaan tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga penanganan hukum dinilai harus dilakukan secara serius, transparan, dan menyeluruh.
PWOIN Kota Semarang secara tegas mendesak aparat kepolisian agar tidak bersikap lamban atau ragu dalam menegakkan hukum.
“Kami mendesak kepolisian bertindak cepat, profesional, dan transparan. Jangan sampai muncul kesan pembiaran atau perlindungan terhadap pelaku. Kekerasan terhadap jurnalis adalah kejahatan serius dan harus diusut sampai tuntas,” ujar Vio yang akrab disapa Bunda Vio.
Ia menegaskan, PWOIN tidak akan tinggal diam dan memastikan akan mengawal proses hukum hingga tuntas sebagai bentuk solidaritas terhadap korban sekaligus upaya mencegah terulangnya kekerasan terhadap jurnalis di masa mendatang.
Lebih lanjut, Vio mengingatkan bahwa kebebasan pers bukan hak eksklusif wartawan, melainkan hak masyarakat luas.
“Ketika jurnalis dibungkam dengan kekerasan, yang dirampas bukan hanya kebebasan pers, tetapi juga hak publik untuk tahu. Pers adalah mata dan telinga rakyat. Jika pers dibuat takut, maka demokrasi ikut lumpuh,” tegasnya.
Dalam pernyataannya, Vio juga menyoroti dugaan lambannya respons aparat kepolisian dalam menerima dan menindaklanjuti laporan korban. Menurutnya, hal ini mencerminkan masih lemahnya pemahaman sebagian aparat terhadap mandat perlindungan pers sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi terkait perkembangan penanganan kasus tersebut. Publik kini menanti dengan cemas: apakah negara benar-benar hadir melindungi kebebasan pers, atau justru membiarkan jurnalis terus bekerja dalam bayang-bayang ancaman dan kekerasan?
(Syamsul Anam / Team)













