Banjarmasin – PeloporNews Kalimantan –
Di Jalan Pangeran Hidayatullah, Kelurahan Sawah Gede, Kecamatan Cianjur, terdapat sebuah pusara yang sunyi namun menyimpan makna sejarah yang mendalam. Di sinilah bersemayam Sultan Hidayatullah Al Watsiq Billah, raja ke-16 dan Sultan terakhir Kesultanan Banjar, yang dikenal oleh rakyat Cianjur sebagai Ulama Berjubah Kuning.
Awal Kehidupan dan Penobatan
Lahir di Martapura, Kalimantan Selatan pada tahun 1822 M, dengan nama kecil Gusti Andarun, beliau adalah putra Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al Watsiq Billah dan Ratu Siti binti Pangeran Husin Mangkubumi Nata. Sejak muda, Sultan Hidayatullah telah dibekali dengan nilai-nilai agama dan kepemimpinan yang kuat.
Pada tahun 1843 M, berdasarkan Surat Wasiat Sultan Adam, Gusti Andarun dideklarasikan sebagai Sultan Banjar secara de jure. Rakyat pun mengangkatnya secara de facto di Banua Lima, memberi gelar mulia: Sultan Hidayatullah Al Watsiq Billah.
Sang Panglima Perang yang Gagah Berani dan karismatik
Di tengah berkobarnya Perang Banjar (1859–1862 M), Sultan Hidayatullah muncul sebagai panglima utama, memimpin perjuangan melawan kolonial Belanda dengan semboyan “Dalas Hangit, Waja Sampai ka Puting” (Pantang mundur, berjuang sampai akhir). Dari Martapura hingga Banua Lima, beliau menggalang kekuatan rakyat untuk melawan penjajah.
Strategi perlawanan yang berbasis rakyat membuat Belanda kewalahan. Selama tiga setengah tahun, mereka berusaha menundukkan Sultan Hidayatullah — yang bahkan dijuluki sebagai Hoofdopstandeling (Kepala Pemberontak) oleh Belanda.
Pengkhianatan dan Penangkapan
Namun, Belanda tidak hanya bertempur di medan perang. Dengan siasat licik, mereka menyandera ibu, istri, dan kakanda Sultan untuk memaksa beliau keluar dari basis perlawanan. Di Martapura, Sultan disergap dan dibawa dengan kapal perang Van Oost, kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada 17 Maret 1862.
Akhir Hayat di Pengasingan
Di tanah pengasingan, Sultan Hidayatullah tidak larut dalam kesedihan. Ia justru menjelma menjadi sosok ulama yang meneduhkan dan penuh kasih. Dengan jubah kuningnya, beliau berdakwah, mengajarkan agama, dan menebar kebaikan, hingga masyarakat Cianjur menjulukinya Ulama Berjubah Kuning.
Pada Rabu, 23 Sya’ban 1322 H / 2 November 1904 M, Sultan Hidayatullah berpulang dalam usia 82 tahun. Beliau dimakamkan di Pusara Bukit Joglo, Cianjur, sebuah tempat yang kini menjadi saksi bisu kejayaan dan penderitaan seorang raja pejuang.
Warisan Abadi :
Sultan Hidayatullah bukan hanya raja terakhir Kesultanan Banjar; ia adalah simbol perlawanan, kesetiaan, dan keimanan. Dari medan perang hingga pengasingan, beliau tetap menjaga martabat bangsanya. Kisah hidupnya adalah pesan abadi tentang keberanian dan pengorbanan, yang patut dikenang oleh generasi mendatang.
Mari kita jaga dan lestarikan warisan sejarah ini, agar tidak terlupakan oleh waktu.”(Nata/Team)