Tanah Bumbu -Pelopor News Kalimantan
Oleh: Noorhalis Majid
Dalam dinamika Pemilu, perjalanan dari Daftar Calon Sementara (DCS) menuju Daftar Calon Tetap (DCT) menjadi babak krusial. Jeda waktu yang cukup panjang antara keduanya bukanlah kebetulan, melainkan panggung utama bagi warga untuk turut serta dalam proses demokrasi.
Jeda waktu tersebut menjadi kesempatan emas bagi warga untuk melakukan kritik dan memberikan masukan terhadap calon yang diusung oleh partai politik. Semakin lama waktu yang diberikan, semakin luas ruang partisipasi warga, memastikan bahwa semua calon telah melalui seleksi ketat dari masyarakat.
Pentingnya pengumuman DCS kepada publik oleh penyelenggara Pemilu menjadi langkah awal untuk mengundang partisipasi sebanyak-banyaknya dari warga. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan keharusan untuk memastikan bahwa demokrasi bukan hanya label, tetapi substansinya adalah partisipasi warga yang aktif.
Demokrasi sejati terwujud ketika warga memiliki ruang untuk memberikan kritik, saran, dan masukan. Tanpa ruang partisipasi, demokrasi bisa tereduksi menjadi otoritarianisme yang menyamar.
Namun, bagaimana jika ada caleg yang tiba-tiba muncul di DCT tanpa pernah muncul di DCS? Hal ini bisa dianggap sebagai upaya untuk memotong proses partisipasi warga, menghilangkan ruang bagi kritik dan masukan yang seharusnya dilakukan.
Ruang partisipasi bukan hanya hak, tetapi juga mahkota dari demokrasi itu sendiri. Ketika caleg menghilangkan kesempatan warga untuk terlibat, mereka seolah-olah memotong benang keterlibatan langsung dari mahkota demokrasi.
Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Jawabannya jelas: penyelenggara Pemilu dan partai politik. Mereka harus memahami bahwa partisipasi warga bukan hanya formalitas, melainkan inti dari keberlanjutan demokrasi. Menjaga proses ini adalah kunci untuk mencegah harapan palsu dan memastikan demokrasi tetap kuat dan berakar dalam partisipasi masyarakat”.(Team)