TANAH BUMBU -Pelopor News Kalimantan -Gusti Zaleha, sosok perempuan tangguh dari tanah Borneo, dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Lahir pada tahun 1880 di Muara Lawung, wilayah yang kini berada di Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, ia telah merasakan getirnya perjuangan sejak bayi.
Ayahnya, Gusti Muhammad Seman, adalah seorang pejuang yang memimpin pasukan melawan Belanda. Di masa kecil, Zaleha sering dibawa ibunya berpindah-pindah di hutan belantara untuk menghindari serangan musuh. Bayi Zaleha kerap dibuai di kain sarung yang digantung di dahan pohon, siap diselamatkan kapan saja jika ancaman mendekat.
Saat remaja, Zaleha dididik dengan ilmu agama, bela diri, dan kebatinan. Ia juga belajar keterampilan dari berbagai suku Dayak yang dikenal tangguh dalam bertarung. Bekal ini menjadikannya prajurit perempuan yang andal. Bersama suku Dusun, Ngaju, Siang, Kayan, dan Kenyah, Gusti Zaleha membangun benteng pertahanan di tepi Sungai Menawing dan tambang batubara Oranje Nassau.
Zaleha tidak hanya seorang pejuang di medan perang. Bersama sahabatnya, Bulan Jihad, dan para perempuan pemberani lainnya seperti Illen Masidah dan Nyai Cakrawati, ia memimpin prajurit perempuan. Di sela-sela pertempuran, mereka mengajarkan baca tulis, agama, dan pengetahuan kepada anak-anak serta memberikan penyuluhan kepada kaum perempuan tentang pentingnya peran wanita dalam perjuangan.
Perang Amuk Barito dan Kejatuhan Benteng Menawing
Pada tahun 1901, Perang Amuk Barito pecah dengan dahsyat. Pasukan Belanda mengerahkan lebih dari 3.000 tentara Marsose, yang terkenal kejam, untuk menghancurkan perlawanan rakyat. Pada tahun 1904, Gusti Muhammad Seman ditangkap dan diasingkan ke Buitenzorg (Bogor).
Tahun berikutnya, Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke Benteng Menawing. Banyak pejuang gugur atau ditangkap. Sebelum wafat, Gusti Muhammad Seman menyerahkan cincin kerajaan kepada Zaleha sebagai simbol penyerahan kekuasaan dan kepemimpinan perang.
Perjuangan Gerilya dan Penangkapan Gusti Zaleha
Meski terdesak, Gusti Zaleha tidak menyerah. Bersama sisa pasukannya, ia melanjutkan perlawanan gerilya dari hutan ke hutan. Namun, perlawanan itu harus berakhir pada awal 1906 ketika Belanda berhasil menangkap Zaleha di rumah seorang penduduk yang diduga berkhianat.
Zaleha, dalam kondisi terluka parah, akhirnya diasingkan ke Buitenzorg, menyusul suaminya. Dengan penangkapannya, Belanda menyatakan Perang Banjar yang berlangsung sejak 1859 telah berakhir, memberi mereka kendali penuh atas tanah Kalimantan.
Warisan Perjuangan
Meski takhta dan mahkota tak pernah ia kenakan, Gusti Zaleha tetap dikenang sebagai ratu tanpa tahta yang menginspirasi generasi penerus untuk terus berjuang demi keadilan dan kebebasan. Perjuangannya membuktikan bahwa semangat perempuan dalam membela tanah air tak pernah padam.”(Team)